Sabtu, 30 Maret 2019




Description: 200px-Lambang_Akademi_Kepolisian.png

Muhammad Shidqy Fauzan

Kelas F

Ton 2c

17 .127

TUGAS DAN WEWENANG POLRI











I. PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang Masalah

 Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara adalah

melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan

masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan

dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan dan

membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran

hukum masyarakat dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan

perundang-undangan, serta memelihara ketertiban dan menjamin keamanan

umum (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian).



Wewenang kepolisian dalam pelaksanaan tugas kepolisian tersebut adalah

mengadakan tindakan menurut hukum yang bertanggungjawab dan dilaksanakan

dengan syarat yaitu: tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras

dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; harus

patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan

yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi

Manusia (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian). 



Tugas dan wewenang kepolisian tersebut merupakan bagian dari peranan

kepolisian dalam melaksanakan pengamanan terhadap aktivitas masyarakat,













2

 termasuk pengamanan unjuk rasa.  Unjuk rasa pada dasarnya merupakan

kemerdekaan masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum, yang

idealnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, sejalan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai pula

dengan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang menetapkan sebagai berikut:

1) Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan

pengembangan kepribadian secara bebas dan penuh.

2) Dalam pelaksanaan hak kebebasan, setiap orang harus tunduk semata-mata

pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk

menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang

lain, untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban serta

kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

3) Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan

dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Unjuk rasa sebagai bentuk kemerdekaan mengemukakan pendapat diatur dalam 

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum, terdapat lima asas yang merupakan landasan kebebasan

bertanggungjawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Kelima asas tersebut adalah asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas

musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas

proporsionalitas dan asas mufakat. 









3



Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, diketahui bahwa pelaksanaan unjuk

rasa harus proporsionalitas, artinya meletakkan segala kegiatan sesuai dengan

konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara,

institusi maupun aparatur pemerintah yang dilandasi oleh etika individual, etika

sosial dan etika institual. Dengan landasan atas kelima asas kemerdekaan

menyampaikan pendapat di muka umum tersebut, maka dalam pelaksanaannya

diharapkan dapat mencapai tujuan berikut, yakni:

1) Mewujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah satu hak asasi

manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2) Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan

dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.

3) Mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan partisipasi dan

kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab

dalam kehidupan berdemokrasi.

4) Menempatkan tanggungjawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau

kelompok.



Setiap warga negara perlu mengerti hak dan kewajiban warga negara dalam

mengemukakan pendapat. Hak warga negara yang menyampaikan pendapat di

muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh

perlindungan hukum. Kewajiban warga negara yang menyampaikan pendapat di

muka umum sebagaimana diatur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998

Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah:

4



1) Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain

2) Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum

3) Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

4) Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum

5) Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa



Perangkat aturan tentang pelaksanaan unjuk rasa yang bebas dan

bertanggungjawab meskipun telah diberlakukan, tetapi belum menjamin

ketertiban dalam pelaksanaannya. Unjuk rasa sering kali mengarah pada

kekerasan, pengerusakan, anarkis dan mengganggu ketertiban umum. Selain itu

unjuk rasa juga seringkali dilakukan oleh sekelompok massa tanpa perizinan dari

pihak kepolisian. Secara ideal unjuk rasa seharusnya dilakukan secara tertib,

teratur dan bertanggungjawab, namun pada kenyataannya sering kali unjuk rasa

berakhir dengan perilaku yang mengarah pada tindak pidana seperti kekerasan,

pengerusakan dan anarkis. 



Unjuk rasa pada umumnya dilakukan oleh sekelompok elemen masyarakat yang

menyuarakan tuntutan dengan jumlah massa yang sering kali tidak dapat

diprediksikan, meskipun pada pemberitahuan unjuk rasa yang diajukan kepada

pihak kepolisian disebutkan jumlah massa yang akan berunjuk rasa, namun pada

kenyatannya di lapangan, jumlah tersebut sering kali menjadi massif dan

bertambah besar serta jauh melebihi jumlah yang tertera pada pemberitahuan.

Ketidakpastian ini terjadi pula dalam lama orasi dan berunjuk rasa, sering kali

tidak dapat diprediksikan, karena pada pelaksanaannya di lapangan lama mereka

berorasi dan berunjuk rasa sering kali meleset dari perkiraan dan pemberitahuan

5



yang disampaikan kepada pihak kepolisian, dengan alasan di antaranya tuntutan

yang disampaikan belum selesai, tidak ada pejabat pemerintahan yang menemui

massa dan negosiasi yang memakan waktu lama. 



Potensi terjadinya kekerasan dan anarkis dalam unjuk rasa dapat disebabkan oleh

situasi yang serba kalut dan tidak terkoordinasi (out of control) dapat

memungkinkan massa melakukan kekerasan dan pengerusakan terhadap fasilitas

publik maupun terhadap aparat yang menjaga keamanan unjuk rasa. Belum lagi

adanya pihak-pihak yang memprovokasi dan memperkeruh keadaan, bisa menjadi

pemicu bagi massa untuk melakukan anarkis atau mengganggu ketertiban umum.

Kekerasan dalam unjuk rasa juga dapat disebabkan oleh tidak adanya respon atau

tanggapan dari pihak yang didemo oleh masyarakat, sehingga masyarakat menjadi

kesal dan melakukan hal-hal yang mengarah pada tindak kekerasan. 1



Kepolisian dalam kondisi yang demikian melaksanakan peranannya sebagai alat

negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam

negeri. Kepolisian dituntut untuk melaksanakan upaya penanggulangan unjuk rasa

yang disertai dengan tindak kekerasan.2



Kondisi yang demikian menuntut pihak Kepolisian untuk melaksanakan

peranannya sebagai alat negara sesuai dengan Tugas pokok Kepolisian Negara

Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

                                                 1 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK, 1997, hlm. 27. 2 Ibid, hlm. 28.

6



Tentang Kepolisian di antaranya adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan,

pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai

kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan dan membina masyarakat untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan

warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pengamanan terhadap demonstrasi oleh kepolisian harus dilaksanakan secara

profesional, artinya polisi harus memposisikan diri sebagai pemelihara kemanan

dan ketertiban masyarakat, sebagai penegak hukum dan pelindung serta pelayan

masyarakat, sehingga masyarakat memiliki persepsi positif dan turut

berpartisipasi dalam menciptakan keamanan, yaitu keadaan yang ditandai dengan

terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan pada

masyarakat.



Upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam penanggulangan demonstrasi yang

bersifat anarkis merupakan bentuk kebijakan kriminal (criminal policy).

Kebijakan kriminal diterapkan dengan memberlakuan undang-undang sebagai

suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana

yang rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum

pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana

pidana dijadikan untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan



7



politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.



Upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam penanggulangan demonstrasi yang

bersifat anarkis dapat dilakukan melalui upay non penal maupun penal. Upay non

penal dapat dilakukan dengan pengamanan secara wajar dan negosiasi dengan

para demonstran. Sementara itu upaya penal dilakukan dengan menggunakan

kekuatan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 

  Kebijakan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana merupakan suatu usaha

yang tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam suatu konteks tertentu, dalam hal

ini adalah perubahan sosial dan modernisasi. Perkembangan ini dapat dilihat

sebagai usaha untuk melakukan perombakan masyarakat atau sebagai perubahan

dari sistem hukum sendiri. Hal yang berkaitan dengan perkembangan tersebut

adalah konsep pembangunan hukum, yang meliputi berbagai lembaga, peraturan,

kegiatan dan orang-orang yang terlibat di dalam pekerjaan hukum, yang dalam hal

ini adalah untuk dapat menciptakan perubahan-perubahan sesuai dengan struktur

masyarakat yang diinginkan, hukum harus dilihat sebagai usaha besama yang

pada akhirnya membuahkan hasil yang telah ditetapkan sebelumnya.3



Salah satu contoh kasus demonstrasi atau unjuk rasa yang berakhir dengan anarkis

di Kota Bandar Lampung adalah protes terhadap keberadaan Bus Rapid Transit

                                                 3 H. R. Abdussalam. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu     Agung, Jakarta. 2009, hlm. 43





8



(BRT) yang dilakukan oleh para supir angkutan kota, namun pada akhirnya

demonstrasi ini berakhir anarkis dengan terjadinya pengrusakan terhadap BRT. 

Pemberitaan Radar Lampung menyebutkan bahwa Polresta Bandar Lampung

mengembangkan kasus perusakan bus rapid transit (BRT), Selasa (2/5).

Sebelumnya, polisi mengamankan empat orang yang diduga terlibat perusakan.

Keempatnya adalah Rian Riski (22), Riki Wijaya (24), Dedi Saputra (31), dan

Roni Setiawan (20). Mereka mengaku sopir dan kernet angkutan kota (angkot)

yang ikut demo. Diketahui, perusakan itu merupakan buntut dari unjuk rasa

penolakan ratusan sopir angkot terhadap operasional BRT. Sebelumnya, para

sopir angkot dari berbagai jurusan mendatangi Mapolresta Bandar Lampung.4



Pengamanan unjuk rasa yang disertai dengan tindak kekerasan harus mengacu

pada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang ditetapkan

oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Salah satunya

adalah Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor:

Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki, yang secara terperinci

mengenai berbagai tindakan yang ditempuh oleh anggota kepolisian dalam

penanggulangan anarkis.

  Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian dalam rangka

menyusun Skripsi yang berjudul: Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan

anarkis massa Berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2010 (Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).

4 http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/hukum-a-kriminal/49008-kembangkan-     kasus-perusakan-brt. Edisi 4 Mei 2012. Diakses 4 Maret 2013





9

 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 

 1. Permasalahan

 Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut: 

a. Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa

berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian dalam

penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis?



2. Ruang Lingkup Penelitian 



Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan kajian

mengenai upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan

Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010

Tentang Penanggulangan Anarkis. Ruang lingkup lokasi adalah pada Kepolisian

Resor Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2013.



C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 



1. Tujuan Penelitian 

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 

a. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa

berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis

10



b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian dalam

penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis



2. Kegunaan Penelitian 

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana, khususnya yang terkait upaya kepolisian dalam

penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis

dan faktor-faktor penghambatnya.

b. Kegunaan Praktis 

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi

Kepolisian dalam menerapkan diskresi kepolisian dalam upaya kepolisian

dalam penanggulangan anarkis massa. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat

bagi elemen masyarakat untuk melaksanakan demonstrasi yang aman, tertib

dam bertanggungjawab.



D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 

 1. Kerangka Teoritis

 Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar

yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. Berdasarkan definisi tersebut

maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 



11



a. Upaya Kepolisian 



Upaya Kepolisian dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy,

criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi

kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa

keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap

berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan,

berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu

dengan yang lainnya. 

Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan

dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai

hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan berbagai keadaan dan

situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan

(politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:

1.  Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu: a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.



2.   Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan5 



                                                 5 Barda Nawawi Arif. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. hlm.12 





12



b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,

namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)  Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.  (2) Faktor penegak hukum  Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan. (3) Faktor sarana dan fasilitas  Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya. (4) Faktor masyarakat  Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.  (5) Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.6    





                                                 6 Soerjono Soekanto.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka    Cipta. Jakarta. 1986. Hlm.8-12







13



2. Konseptual 



Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam penelitian7. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari

istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 

a. Upaya kepolisian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh kepolisian

untuk memperoleh sesuatu dan mencapai tujuan yang telah direncanakan

sebelumnya dengan menggunakan berbagai potensi sumber daya yang

dimiliki. 8

b. Kepolisian adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan dalam negeri (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

c. Penanggulangan tindak pidana adalah pelaksanaan kebijakan kriminal yang

dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan oleh aparat penegak

hukum, dengan menggunakan sarana pidana/sarana penal maupun sarana di

luar hukum pidana/sarana nonpenal, dalam rangka penegakan hukum dan

terciptanya kepastian hukum9

d. Anarki merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan

keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat sehingga perlau

dilakukan penindakan secara tepat, dan tegas dengan tetap mengedepankan

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) serta sesuai ketentuan perundang

                                                 7  Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.74 8  Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK, 1997, hlm. 44. 9  Barda Nawawi Arif. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. hlm.13 

14



undangan yang berlaku (Angka 1 Keputusan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan

Anarki).

e. Massa adalah sebutan bagi sekelompok atau sekumpulan orang yang berada

ada suatu waktu dan tempat yang sama, serta melakukan tindakan untuk

mencapai tujuan yang sama10

f. Prosedur adalah langkah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan kegiatan

atau aktivitas, sehingga dapat tercapainya tujuan yang diharapkan secara

efektif dan efisien, serta dapat dengan mudah menyelesaikan suatu masalah

secara terperinci menurut jangka waktu yang telah ditentukan.11



E. Sistematika Penulisan

 Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara

keseluruhan diuraikan sebagai berikut: 

I  PENDAHULUAN 

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,

Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan. 

 II  TINJAUAN PUSTAKA 

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan

dengan penyusunan skripsi yaitu Penanggulangan Tindak Pidana,

kepolisian Negara Republik Indonesia, Pengertian dan Unsur-Unsur

Tindak Pidana dan Anarkis massa                                                  10  Adi Sudarmanto. Wacana Negara Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta. 2001. hlm. 11 11  Sondang P Siagian. Organisasi dan Manajemen. Rajawali Press. Jakarta. 2005. hlm. 65



15



III  METODE PENELITIAN 

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan

Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur

Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

 



IV  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai upaya kepolisian

dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang

Penanggulangan Anarkis dan faktor-faktor yang menghambat upaya

kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur

Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010

Tentang Penanggulangan Anarkis



V PENUTUP 

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar