Muhammad Shidqy
Fauzan
Kelas F
Ton 2c
17 .127
TUGAS DAN WEWENANG POLRI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai alat negara adalah
melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan
segala kegiatan
dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu
lintas di jalan dan
membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat dan ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan
perundang-undangan, serta memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan
umum (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian).
Wewenang kepolisian dalam pelaksanaan tugas kepolisian
tersebut adalah
mengadakan tindakan menurut hukum yang bertanggungjawab dan
dilaksanakan
dengan syarat yaitu: tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum; selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan; harus
patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
pertimbangan
yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati
Hak Asasi
Manusia (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian).
Tugas dan wewenang kepolisian tersebut merupakan bagian dari
peranan
kepolisian dalam melaksanakan pengamanan terhadap aktivitas
masyarakat,
2
termasuk pengamanan
unjuk rasa. Unjuk rasa pada dasarnya
merupakan
kemerdekaan masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka
umum, yang
idealnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab,
sejalan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
sesuai pula
dengan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum
dalam Pasal 29
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang menetapkan
sebagai berikut:
1) Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang
memungkinkan
pengembangan kepribadian secara bebas dan penuh.
2) Dalam pelaksanaan hak kebebasan, setiap orang harus
tunduk semata-mata
pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan
maksud untuk
menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta
kebebasan orang
lain, untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas,
ketertiban serta
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
3) Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan
secara bertentangan
dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Unjuk rasa sebagai bentuk kemerdekaan mengemukakan pendapat
diatur dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan
Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, terdapat lima asas yang merupakan
landasan kebebasan
bertanggungjawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat
di muka umum.
Kelima asas tersebut adalah asas keseimbangan antara hak dan
kewajiban, asas
musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan,
asas
proporsionalitas dan asas mufakat.
3
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang
Kebebasan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, diketahui bahwa
pelaksanaan unjuk
rasa harus proporsionalitas, artinya meletakkan segala
kegiatan sesuai dengan
konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan
oleh warga negara,
institusi maupun aparatur pemerintah yang dilandasi oleh
etika individual, etika
sosial dan etika institual. Dengan landasan atas kelima asas
kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum tersebut, maka dalam
pelaksanaannya
diharapkan dapat mencapai tujuan berikut, yakni:
1) Mewujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah
satu hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2) Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan
dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
3) Mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan
partisipasi dan
kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan
tanggungjawab
dalam kehidupan berdemokrasi.
4) Menempatkan tanggungjawab sosial dalam kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan atau
kelompok.
Setiap warga negara perlu mengerti hak dan kewajiban warga
negara dalam
mengemukakan pendapat. Hak warga negara yang menyampaikan
pendapat di
muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan
memperoleh
perlindungan hukum. Kewajiban warga negara yang menyampaikan
pendapat di
muka umum sebagaimana diatur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998
Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah:
4
1) Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain
2) Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum
3) Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
4) Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum
5) Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa
Perangkat aturan tentang pelaksanaan unjuk rasa yang bebas
dan
bertanggungjawab meskipun telah diberlakukan, tetapi belum
menjamin
ketertiban dalam pelaksanaannya. Unjuk rasa sering kali
mengarah pada
kekerasan, pengerusakan, anarkis dan mengganggu ketertiban
umum. Selain itu
unjuk rasa juga seringkali dilakukan oleh sekelompok massa
tanpa perizinan dari
pihak kepolisian. Secara ideal unjuk rasa seharusnya
dilakukan secara tertib,
teratur dan bertanggungjawab, namun pada kenyataannya sering
kali unjuk rasa
berakhir dengan perilaku yang mengarah pada tindak pidana
seperti kekerasan,
pengerusakan dan anarkis.
Unjuk rasa pada umumnya dilakukan oleh sekelompok elemen
masyarakat yang
menyuarakan tuntutan dengan jumlah massa yang sering kali
tidak dapat
diprediksikan, meskipun pada pemberitahuan unjuk rasa yang
diajukan kepada
pihak kepolisian disebutkan jumlah massa yang akan berunjuk
rasa, namun pada
kenyatannya di lapangan, jumlah tersebut sering kali menjadi
massif dan
bertambah besar serta jauh melebihi jumlah yang tertera pada
pemberitahuan.
Ketidakpastian ini terjadi pula dalam lama orasi dan
berunjuk rasa, sering kali
tidak dapat diprediksikan, karena pada pelaksanaannya di
lapangan lama mereka
berorasi dan berunjuk rasa sering kali meleset dari
perkiraan dan pemberitahuan
5
yang disampaikan kepada pihak kepolisian, dengan alasan di
antaranya tuntutan
yang disampaikan belum selesai, tidak ada pejabat
pemerintahan yang menemui
massa dan negosiasi yang memakan waktu lama.
Potensi terjadinya kekerasan dan anarkis dalam unjuk rasa
dapat disebabkan oleh
situasi yang serba kalut dan tidak terkoordinasi (out of
control) dapat
memungkinkan massa melakukan kekerasan dan pengerusakan
terhadap fasilitas
publik maupun terhadap aparat yang menjaga keamanan unjuk
rasa. Belum lagi
adanya pihak-pihak yang memprovokasi dan memperkeruh
keadaan, bisa menjadi
pemicu bagi massa untuk melakukan anarkis atau mengganggu
ketertiban umum.
Kekerasan dalam unjuk rasa juga dapat disebabkan oleh tidak
adanya respon atau
tanggapan dari pihak yang didemo oleh masyarakat, sehingga
masyarakat menjadi
kesal dan melakukan hal-hal yang mengarah pada tindak
kekerasan. 1
Kepolisian dalam kondisi yang demikian melaksanakan
peranannya sebagai alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam
negeri. Kepolisian dituntut untuk melaksanakan upaya
penanggulangan unjuk rasa
yang disertai dengan tindak kekerasan.2
Kondisi yang demikian menuntut pihak Kepolisian untuk
melaksanakan
peranannya sebagai alat negara sesuai dengan Tugas pokok
Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002
1 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK, 1997, hlm. 27. 2 Ibid, hlm. 28.
6
Tentang Kepolisian di antaranya adalah melaksanakan
pengaturan, penjagaan,
pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai
kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin
keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan dan membina
masyarakat untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan
warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Pengamanan terhadap demonstrasi oleh kepolisian harus
dilaksanakan secara
profesional, artinya polisi harus memposisikan diri sebagai
pemelihara kemanan
dan ketertiban masyarakat, sebagai penegak hukum dan
pelindung serta pelayan
masyarakat, sehingga masyarakat memiliki persepsi positif
dan turut
berpartisipasi dalam menciptakan keamanan, yaitu keadaan
yang ditandai dengan
terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum,
serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan pada
masyarakat.
Upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam penanggulangan
demonstrasi yang
bersifat anarkis merupakan bentuk kebijakan kriminal
(criminal policy).
Kebijakan kriminal diterapkan dengan memberlakuan
undang-undang sebagai
suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan
hukum pidana
yang rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna.
Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai
reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana
maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.
Apabila sarana
pidana dijadikan untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan
dilaksanakan
7
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Upaya yang dilakukan pihak kepolisian dalam penanggulangan
demonstrasi yang
bersifat anarkis dapat dilakukan melalui upay non penal
maupun penal. Upay non
penal dapat dilakukan dengan pengamanan secara wajar dan
negosiasi dengan
para demonstran. Sementara itu upaya penal dilakukan dengan
menggunakan
kekuatan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Kebijakan penanggulangan
kejahatan atau tindak pidana merupakan suatu usaha
yang tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam suatu
konteks tertentu, dalam hal
ini adalah perubahan sosial dan modernisasi. Perkembangan
ini dapat dilihat
sebagai usaha untuk melakukan perombakan masyarakat atau
sebagai perubahan
dari sistem hukum sendiri. Hal yang berkaitan dengan
perkembangan tersebut
adalah konsep pembangunan hukum, yang meliputi berbagai
lembaga, peraturan,
kegiatan dan orang-orang yang terlibat di dalam pekerjaan
hukum, yang dalam hal
ini adalah untuk dapat menciptakan perubahan-perubahan
sesuai dengan struktur
masyarakat yang diinginkan, hukum harus dilihat sebagai
usaha besama yang
pada akhirnya membuahkan hasil yang telah ditetapkan
sebelumnya.3
Salah satu contoh kasus demonstrasi atau unjuk rasa yang
berakhir dengan anarkis
di Kota Bandar Lampung adalah protes terhadap keberadaan Bus
Rapid Transit
3 H. R. Abdussalam. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin
Hukum. Restu Agung, Jakarta. 2009,
hlm. 43
8
(BRT) yang dilakukan oleh para supir angkutan kota, namun
pada akhirnya
demonstrasi ini berakhir anarkis dengan terjadinya
pengrusakan terhadap BRT.
Pemberitaan Radar Lampung menyebutkan bahwa Polresta Bandar
Lampung
mengembangkan kasus perusakan bus rapid transit (BRT),
Selasa (2/5).
Sebelumnya, polisi mengamankan empat orang yang diduga
terlibat perusakan.
Keempatnya adalah Rian Riski (22), Riki Wijaya (24), Dedi
Saputra (31), dan
Roni Setiawan (20). Mereka mengaku sopir dan kernet angkutan
kota (angkot)
yang ikut demo. Diketahui, perusakan itu merupakan buntut
dari unjuk rasa
penolakan ratusan sopir angkot terhadap operasional BRT.
Sebelumnya, para
sopir angkot dari berbagai jurusan mendatangi Mapolresta
Bandar Lampung.4
Pengamanan unjuk rasa yang disertai dengan tindak kekerasan
harus mengacu
pada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis
(juknis) yang ditetapkan
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Salah satunya
adalah Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor:
Protap/1/X/ 2010 Tentang Penanggulangan Anarki, yang secara
terperinci
mengenai berbagai tindakan yang ditempuh oleh anggota kepolisian
dalam
penanggulangan anarkis.
Berdasarkan uraian
di atas maka penulis melakukan penelitian dalam rangka
menyusun Skripsi yang berjudul: Upaya Kepolisian dalam
Penanggulangan
anarkis massa Berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2010 (Studi Pada Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung).
4
http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/hukum-a-kriminal/49008-kembangkan- kasus-perusakan-brt. Edisi 4 Mei 2012.
Diakses 4 Maret 2013
9
B. Permasalahan dan
Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan latar
belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulangan
anarkis massa
berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 1
Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis?
b. Apakah faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian
dalam
penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap
Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan
Anarkis?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana
dengan kajian
mengenai upaya kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa
berdasarkan
Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2010
Tentang Penanggulangan Anarkis. Ruang lingkup lokasi adalah
pada Kepolisian
Resor Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian
adalah tahun 2013.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam penanggulangan
anarkis massa
berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 1
Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis
10
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat upaya
kepolisian dalam
penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap
Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan
Anarkis
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk
memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang terkait upaya kepolisian dalam
penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur Tetap
Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan
Anarkis
dan faktor-faktor penghambatnya.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
kontribusi positif bagi
Kepolisian dalam menerapkan diskresi kepolisian dalam upaya
kepolisian
dalam penanggulangan anarkis massa. Selain itu diharapkan
dapat bermanfaat
bagi elemen masyarakat untuk melaksanakan demonstrasi yang
aman, tertib
dam bertanggungjawab.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis
adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. Berdasarkan
definisi tersebut
maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
11
a. Upaya Kepolisian
Upaya Kepolisian dikenal dengan berbagai istilah, antara
lain penal policy,
criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha
untuk menanggulagi
kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional
yaitu memenuhi rasa
keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan
terhadap
berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada
pelaku kejahatan,
berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat
diintegrasikan satu
dengan yang lainnya.
Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi
kejahatan, berarti akan
dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan
pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan berbagai
keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau
menanggulangi kejahatan
(politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:
1. Kebijakan Pidana
dengan Sarana Penal Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. b. Sanksi apa yang
sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.
2. Kebijakan Pidana
dengan Sarana Non Penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non
penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan
terjadinya kejahatan5
5
Barda Nawawi Arif. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
2004. hlm.12
12
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan
saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya,
yaitu:
(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum) Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di
lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat
abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan
secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak
sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. (2) Faktor penegak hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam
penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya
sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum,
keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
(3) Faktor sarana dan fasilitas Sarana
dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana
dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar
dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya. (4) Faktor
masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal
dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang
terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat,
maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. (5) Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia
merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis
(perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar hukum
adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan
perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah
dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai
atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.6
6 Soerjono Soekanto.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. Hlm.8-12
13
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus
pengamatan
dalam penelitian7. Berdasarkan definisi tersebut, maka
batasan pengertian dari
istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Upaya kepolisian adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh kepolisian
untuk memperoleh sesuatu dan mencapai tujuan yang telah
direncanakan
sebelumnya dengan menggunakan berbagai potensi sumber daya
yang
dimiliki. 8
b. Kepolisian adalah alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya
keamanan dalam negeri (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)
c. Penanggulangan tindak pidana adalah pelaksanaan kebijakan
kriminal yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan oleh aparat
penegak
hukum, dengan menggunakan sarana pidana/sarana penal maupun
sarana di
luar hukum pidana/sarana nonpenal, dalam rangka penegakan
hukum dan
terciptanya kepastian hukum9
d. Anarki merupakan bentuk pelanggaran hukum yang
membahayakan
keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat sehingga
perlau
dilakukan penindakan secara tepat, dan tegas dengan tetap
mengedepankan
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) serta sesuai
ketentuan perundang
7 Soerjono Soekanto. Pengantar
Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.74 8 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK, 1997,
hlm. 44. 9 Barda Nawawi Arif. Kebijakan
Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. hlm.13
14
undangan yang berlaku (Angka 1 Keputusan Kepala Kepolisian
Negara
Republik Indonesia Nomor: Protap/1/X/ 2010 Tentang
Penanggulangan
Anarki).
e. Massa adalah sebutan bagi sekelompok atau sekumpulan
orang yang berada
ada suatu waktu dan tempat yang sama, serta melakukan
tindakan untuk
mencapai tujuan yang sama10
f. Prosedur adalah langkah yang dilaksanakan untuk
menyelesaikan kegiatan
atau aktivitas, sehingga dapat tercapainya tujuan yang
diharapkan secara
efektif dan efisien, serta dapat dengan mudah menyelesaikan
suatu masalah
secara terperinci menurut jangka waktu yang telah
ditentukan.11
E. Sistematika Penulisan
Sistematika yang
disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara
keseluruhan diuraikan sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari
Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika
Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian
yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi yaitu Penanggulangan Tindak
Pidana,
kepolisian Negara Republik Indonesia, Pengertian dan
Unsur-Unsur
Tindak Pidana dan Anarkis massa
10 Adi Sudarmanto. Wacana Negara
Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta. 2001. hlm. 11 11 Sondang P Siagian. Organisasi dan Manajemen.
Rajawali Press. Jakarta. 2005. hlm. 65
15
III METODE
PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari
Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel,
Prosedur
Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang
telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai
upaya kepolisian
dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan Prosedur
Tetap
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010
Tentang
Penanggulangan Anarkis dan faktor-faktor yang menghambat
upaya
kepolisian dalam penanggulangan anarkis massa berdasarkan
Prosedur
Tetap Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2010
Tentang Penanggulangan Anarkis
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis
dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan
permasalahan
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar